“Dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha dengan bisnis Waralaba di seluruh Indonesia maka perlu mendorong pengusaha nasional terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai Pemberi Waralaba/Franchise nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.
Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada Pemerintah dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam memasarkan produknya.”
(Kutipan Bab I penjelasan atas PP No 42 Tahun 2007)
Dalam PP No 42 tahun 2007 disebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6 (enam) kriteria yang harus dipenuhi, yakni:
1. Memiliki ciri khas usaha.
Yang dimaksud dengan “ciri khas” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan konsumen selalu mencari cirri khas yang dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.
2. Terbukti sudah memberikan keuntungan.
Yang dimaksud “sudah memberi keuntungan” adalah menunjuk kepada pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.
3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis.
Yang dimaksud adalah standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standar operasional kerjanya).
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan.
Yang dimaksud dengan “mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba.
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan.
Yang dimaksud dengan “dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.
6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar.
Yang dimaksud dengan “hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar” adalah hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, rahasia dagang sudah di daftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.
(sumber gambar: http://magazine.asiabusinessinvestor.com/wp-content/uploads/2009/08/asia-franchising.jpg)
Kamis, 20 Oktober 2011
Rabu, 18 Mei 2011
Neo Design
Senin, 16 Mei 2011
Pengusaha Mebel Meminta Kemudahan
Kalangan pengusaha mebel mendesak pemerintah mempermudah regulasi yang mengatur distribusi kayu jati.
Kalangan pengusaha mebel mendesak pemerintah mempermudah regulasi yang mengatur distribusi kayu jati.Peraturan yang berlaku saat ini, yakni P 55/2006, menyulitkan pengusaha kayu jati Perum Perhutani dan mengirimnya ke tempat lain di Pulau Jawa.
Demikian disampaikan para pengusaha mebel dalam dialog dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (5/1). Menurut Sustomo, perajin mebel, Surat Keputusan Menhut Nomor P 55/2006 terlalu kaku sehingga pengusaha sulit dalam mendapatkan kayu jati dari luar daerah.
Perajin berharap pemerintah mempermudahnya sehingga kayu jati bisa dikirim ke daerah lain.
Menurut P 55/2006, perdagangan kayu jati dan mahoni produk Perum Perhutani wajib melampirkan dokumen dari dinas kehutanan provinsi.
Pemerintah mengatur hal ini untuk melindungi Perhutani dari pencurian kayu. Pengusaha mebel lainnya, Muhammad Cholil, mengeluhkan persoalan bahan baku jati berkualitas. Selama ini Muhammad Cholil mengekspor produk kayu ke Timur Tengah, Asia Pasifik, dan Eropa. Namun, saat ini Cholil fokus ke pasar domestik karena krisis di negara maju.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Zulkifli berjanji akan melihat dan mempelajari permintaan pengusaha mebel. Aturan yang dapat menghambat kemajuan industri berbasis hutan tanaman harus diatasi segera.
”Negara-negara maju, seperti Korea dan Jepang, tidak membuang sisa kayu. Mereka memanfaatkan semuanya dengan optimal. Ampasnya pun dibuat briket untuk dicampur batu bara sebagai bahan bakar. Kita harus bisa seperti mereka,” ujar Menhut. (Ham/ Kompas )
UNITEAK Ritael untuk Rumah Tinggal H. Amin Rais
Langganan:
Postingan (Atom)